Rabu, 25 November 2009

Film 2012 buat heboh..

Rumor yang sering kita dengar baik melalui berita-berita di televise, infotainment, maupun dari orang-orang di sekitar kita bahwa kiamat akan terjadi pada 2012 sangat menggugah pikiran. Ditambah dengan beberapa ramalan dari paranormal Indonesia yang mengatakan bahwa akan terjadi bencana hebat di tahun 2012. Sampai-sampai MUI ikut mengecam bahwa film 2012 haram ditonton.
Film 2012 yang baru saja dirilis sangat ditunggu-tunggu oleh pecinta film Indonesia, mereka penasaran dengan berita-berita yang telah mereka dengar sebelumnya. Setelah diperhatikan, film tersebut memang hebat dari sisi efek visualisasinya. Penyajian gambar yang tampak begitu nyata. Bencana-bencana, seperti gempa, gedung-gedung roboh, lautan manusia yang ketakutan, tertimpa gempa, histeris, dan sebagainya memang sangat tampak riil, bahkan saking riilnya, tidak tampak sedikit pun bahwa film itu hanya sebuah hasil karya editan manusia.
Bencana Tsunami juga tampak nyata, air laut yang meluap dengan pombak yang begitu besar mampu menghanyutkan kapal besar dengan ribuan manusia di dalamnya. Memang dari sisi efek visualisasi film ini sangat unggul dan pantas mendapat acungan jempol. Namun, bisa kita bayangkan, bagaimana mungkin, jika memang yang dimaksud dalam film itu adalah hari kiamat, tokoh utama mampu menyelamatkan diri?? Padahal jika memang kiamat, tidak ada satu pun makhluk yang selamat dari malapetaka itu. Penulis pikir, flm 2012 itu bukanlah film yang menceritakan kejadian kiamat, akan tetapi kejadian bencana alam besar yang mampu menghancurkan segala sudut di dunia.
Banyak hal yang bisa kita ambil dari film ini, yakni, kita dapat mawas diri dan memperbaiki perilaku kita menjadi lebih baik, selalu berusaha dan tidak putus asa untuk merubah diri menjadi lebih baik. Karena tidak ada yang abadi di dunia ini, dan kita akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.

DIKSI DAN GAYA BAHASA PUISI “RAKYAT” KARYA HARTOYO ANDANGJAYA

A. PENDAHULUAN
Sastra ialah ekspresi pikiran dan perasaan manusia baik lisan maupun tulis dengan menggunakan bahasa yang indah menurut konteksnya (Hutomo dalam Najid, 2003:5). Ada tiga bentuk karya sastra, yaitu prosa, puisi, dan drama. Puisi ialah karya sastra tertulis yang paling awal ditulis oleh manusia. Karya-karya sastra lama yang berbentuk puisi, contohnya ialah Mahabarata dan Ramayana.
Puisi ialah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (Waluyo, 2005:1). Kata-kata betul-betul terpilih agar memiliki kekuatan pengucapan. Walaupun singkat atau padat namun berkekuatan. Oleh karena itu penyair berusaha untuk memilih kata-kata yang memiliki persamaan bunyi. Kata-kata itu dicarikan konotasi atau makna tambahannya dan dibuat bergaya dengan bahasa figuratif sehingga mewakili makna yang lebih banyak dan luas.
Tahun 1960-an adalah tahun-tahun subur bagi dunia perpuisian Indonesia (Waluyo, 2005:107). Tahun 1963 sampai 1965 yang berjaya ialah penyair anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah lembaga kebudayaan yang didirikan oleh Partai Komunis Indonesia. Karya sastra sekitar tahun 1966 lazim disebut Angkatan ’66.
Puisi-puisi yang muncul pada periode ini ialah puisi-puisi tentang alam pedesaan, pejuang-pejuang di desa, dan kerinduan akan sawah dan ladang. Salah satu penyair pada periode ini ialah Hartoyo Andangjaya dengan puisinya “Rakyat” yang akan dibahas kali ini.

B. PEMBAHASAN
Diksi atau pilihan kata bukan saja digunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual yang karakteristik, atau yang memiliki nilai artistik yang tinggi (Keraf, 2006:23).
Selain tujuan di atas, diksi juga membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan. Diksi atau pilihan kata yang tepat hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata bahasa itu.
Sedangkan yang dimaksud gaya bahasa ialah cara atau mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa (Keraf, 2006:113). Sejalan dengan Keraf, Mudlofar (2003:86) menyebutkan bahwa gaya bahasa merupakan kalimat yang efektif dan estetis yang mampu memberikan gambaran konkret kepada benak pembaca atas isi dan maksudnya.
Gaya bahasa yang muncul dalam puisi “Rakyat” karya Hartoyo Andangjaya di antaranya: personifikasi, repetisi anafora, asonansi, dan aliterasi. Hartoyo Andangjaya, lahir di Solo tahun 1930 dan meninggal dunia di kota itu pula pada tahun 1990. Pernah menjadi guru SLTP, SMU, dan STM. Ia pernah menjadi redaktur majalah anak-anak Si kuncung (1962—1964) panggilan kepenyairannya sangat kental, sehingga ia tidak mau bekerja di luar bidangnya itu. Ia meninggal dalam keadaan sakit-sakitan. Setahun kemudian, hari kematiannya diperingati di Taman Budaya Surakarta (Solo) dan Taman Ismil Marzuki (Jakarta).
Buku kumpulan puisinya berjudul Simponi Puisi dan Buku Puisi. Salah satu puisi yang akan dibahas di bawah ini ialah “Rakyat”:

Rakyat

Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di
kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka
Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka ragam

Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna cokelat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta.

Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa.



1. Rima
Rima ialah persamaan bunyi. Pemilihan kata di dalam sebuah baris puisi maupun dari satu baris ke baris yang lain mempertimbangkan kata-kata yang memiliki persamaan bunyi yang harmonis. Bunyi-bunyi yang berulang ini menciptakan konsentrasi dan kekuatan bahasa atau sering disebut daya gaib kata. Rima yang muncul pada puisi ini ialah rima akhir. Pada baris terakhir selalu muncul huruf “a” terutama pada baris pertama sampai baris keduapuluh empat dan baris ke tiga puluh dua sampai ke tiga puluh dua empat. kata-kata itu ialah: kita, kerja, tercinta, bersama, berbunga, kota, jala, batubara, bekerja, dst.

2. Repetisi anafora
Repetisi ialah perulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Repetisi anafora ialah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Repetisi anafora ada pada Rakyat ialah kita yang selalu diulang pada awal bait serta kata suara yang diulang-ulang:
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala

3. Personifikasi
Personifikasi ialah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan (Keraf, 2006:140). Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbuat, berbicara, seperti manusia. Berikut data personifikasi yang muncul dalam puisi tersebut.
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga

otak yang menulis angka-angka
4. Aliterasi
Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk perhiasan atau untuk penekanan. Aliterasi muncul pada baris:
jutaan tangan mengayun bersama
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
suara bonang mengambang di pendapa
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
awan menyimpan topan

5. Asonansi
Asonansi ialah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa untuk memeroleh efek penekanan atau sekadar keindahan. Asonansi muncul pada baris:
yang selalu berkata dua adalah dua
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka
beragam suara di langit tanah tercinta
suara tifa di hutan kebun pala
puisi kaya makna di wajah semesta

Puisi “Rakyat” karya Hartoyo Andangjaya ini bertema demokrasi yang artinya kekuasaan di atas tangan rakyat. Pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Rakyat berasal dari banyak golongan, dari tingkat atas, menengah ke atas, menengah, menengah ke bawah, dan tingat bawah. Oleh karena itu setiap suara rakyat harus didengarkan, apalagi rakyat tingkat bawah (jelata), dalam setiap pengambil keputusan atau pemegang kekuasaan negara.
Dalam puisi tersebut, rakyat diartikan sebagai jutaan tangan yang mengayun dalam kerja, jutaan tangan yang mengayun bersama, serta rakyat adalah tangan yang bekerja. Rakyat yang dimaksud di sini ialah petani (membuka lahan lalang menjadi laadang-ladang berbunga), pelaut (menaikkan layar menebar jala), buruh-buruh pabrik (mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota), dan pekerja-pekerja tambang logam dan batubara (meraba kelam di tambang logam dan batubara).
Rakyat kecil adalah orang-orang yang jujur dan lugu. Dalam puisi ini ditulis yang selalu berkata dua adalah dua. Mereka adalah orang-orang jujur dan berbicara apa adanya, rakyat ialah otak yang menulis angka-angka.
Semua aspirasi rakyat harus didengar. Suara rakyat yang berasal dari berbagai daerah yang beraneka ragam harus diperhatikan. Dalam puisi ini diibaratkan sebagai suara-suara kecapi, bangsi, bonang, kecak, dan tifa.
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala

Rakyat disebut puisi kaya makna di wajah semesta dan puisi di wajah semesta. Suara rakyat adalah suara kita semua, karena rakyat adalah darah di tubuh bangsa dan debar sepanjang masa. Rakyat mempunyai peranan penting bagi negara. Betapa pentingnya darah bagi tubuh. Kalau rakyat dilupakan, bangsa akan mati, bangsa akan mati. Dan perjuangan untuk rakyat itu harus diingat terus-menerus menjadi debar sepanjang masa.

C. PENUTUP
Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual yang karakteristik, atau yang memiliki nilai artistik yang tinggi. Gaya bahasa ialah cara atau mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa.
Hartoyo Andangjaya, lahir di Solo tahun 1930 dan meninggal dunia di kota itu pula pada tahun 1990. Buku kumpulan puisinya berjudul Simponi Puisi dan Buku Puisi. Salah satu puisi yang telah dibahas ini ialah “Rakyat”. Gaya bahasa yang muncul dalam puisi “Rakyat” karya Hartoyo Andangjaya di antaranya: personifikasi, repetisi anafora, asonansi, dan aliterasi. Puisi ini bertema demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat. Jadi, seluruh aspirasi rakyat apalagi rakyat jelata harus didengarkan.
D. DAFTAR PUSTAKA

Keraf, Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mudlofar, 2002. Materi Bahasa dan Sastra Indonesia. Surabaya: Citra Wacana.

Najid, Moh. 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: University Press.

Waluyo, Herman J. 2005. Apresiasi Puisi untuk Pelajara dan Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Minggu, 15 November 2009

Belajar dari Dongeng, Yuk...!

Dongeng adalah cerita tentang tokoh yang mengalami suka dan duka kehidupan. Banyak cerita dongeng yang dapat memberikan pelajaran yang baik untuk kehidupan kita. Misalnya, pelajaran tentang kebaikan moral yang selalu menang dalam melawan kejahatan, pengorbanan seorang ibu, dan kecerdikan dalam menghadapi masalah. Banyak cerita dongeng yang dapat kita ambil manfaatnya, agar kita selalu berhati-hati dalam perbuatan sehari-hari. Perhatikan contoh berikut ini!

300 Tael perak
Oleh Rina Ruslaini

Dahulu kala, di daratan Cina tinggalah Kakek dan Nenek Chen. Mereka tidak mempunyai anak. Hidup mereka sehari-hari hanya mencari kayu bakar di hutan. Kayu itu nantinya dijual Kakek Chen ke kota. Pada suatu pagi, Kakek dan Nenek Chen bersiap-siap berangkat ke hutan. Nenek tak lupa membawa bekal untuk makan siang mereka di hutan. Ketika sudah tiba di hutan, mereka melihat anak burung merpati putih menggelepar di tanah. Rupanya anak burung itu terjatuh dari pohon. "Aduh, kasihan sekali anak burung ini," kata Nenek sambil mengangkat merpati itu. Ia meletakkan anak burung itu di bakul makanan dengan hati-hati. "Kita rawat saja ya Kek," ujar nenek, Kakek Chen mengangguk setuju.
Sore harinya setiba di rumah, Nenek Chen merawat anak burung itu dengan hati-hati. Nenek memberinya makanan dan meletakkannya di atas kain perca di dalam kardus. Setelah beberapa minggu, akhirnya burung itu sembuh dan mulai terbang di sekeliling rumah. Nenek amat gembira. "Lihat Kek, anak burungnya sudah sehat! Dia pasti mampu terbang kembali ke hutan!" Kakek Chen melihat sambil tersenyum. Lalu melanjutkan pekerjaannya membelah kayu. Setelah melihat anak burung itu terbang pergi, Nenek Chen kembali ke kamar dan mulai merapikan kamar. Tiba-tiba ia melihat benda berkilauan di balik seprai. Alangkah terkejutnya Nenek Chen saat melihat tumpukan uang perak di atas kasur.
"Kek, Kakek, kemari Kek!" seru Nenek Chen. Tergopoh-gopohKakek Chen masuk ke kamar. Ia sama terkejutnya dengan Nenek saat melihat tumpukan uang itu. "Mari kita hitung jumlahnya, Nek," kata Kakek. Ternyata jumlah uang itu banyak juga, tiga ratus tael." Aduh Kek, uang ini dari mana ya? Kita apakan, ya? Nenek takut… kalau dicuri bagaimana? Ujar nenek bingung. Kakek Chen berpikir keras. "Ah, kita taruh di guci kecil, lalu kita kubur di halaman saja ya Nek," usul Kakek gembira. Nenek pun setuju.
Di saat hari mulai gelap, Kakek menggali di halaman. Ia mengubur 300 tael itu di sana. Dua hari kemudian, Nenek masih merasa gelisah. Ia berkata, "Kek bagaimana kalau kita lupa dengan tempat penyimpanan uang itu? Halaman kita begitu luas. Sekarang saja aku sudah bingung.Apalagi bulan depan!" "Iya, ya Nek. Apalagi kita sudah mulai pikun. Ah! Bagaimana kalau tempat penyimpanan uang kita beri tanda agar kita tidak lupa?" Nenek Chen setuju. Malam harinya, Kakek langsung melaksanakan idenya itu. Keesokan paginya, Nenek terbangun karena suara-suara rebut di luar. Tanpa membangunkan Kakek, ia segera beranjak ke luar. Betapa terkejutnya Nenek saat melihat para tetangga sedang berkerumun di halaman rumahnya. Mereka menunjuk-nunjuk palang yang ditancapkan Kakek tadi malam. Di palang itu tertulis : TIDAK ADA UANG 300 TAEL DI SINI. "Nek, Nenek menyimpan uang di sini ya?" tanya seorang tetangga begitu melihat Nenek. "Uhmmm", Nenek bingung. Tiba-tiba ia melihat anak burung merpati terbang di sekeliling halamannya. Itu anak burung merpati yang pernah dirawatnya dulu. Burung itu masuk ke dalam rumah, lalu berubah wujud menjadi seorang peri cantik.
"Nenek yang baik, terima kasih karena kau telah merawatku sampai sembuh. Uang itu aku berikan sebagai tanda terima kasihku padamu. Tapi rupanya kalian tidak siap menerima pemberianku. Aku akan mengambil kembali uang itu, " ujar peri lembut.
Saat itu juga, guci kecil berisi uang yang ditanam Kakek Chen muncul di tangan peri itu. Palang yang tertancap di halaman juga lenyap. Para tetangga kembali ke rumah masing-masing. Nenek masih terpaku karena kaget dan bingung. Saat akan bicara, tiba-tiba peri itu menghilang. Yang ada hanya asap putih dan cahaya warna-warni dari pakaian sang peri. Lama Nenek terdiam. Tiba-tiba ia melihat benda berkilauan di tempat peri tadi berdiri. Nenek memungut. Ternyata benda yang berkilauan itu adalah uang perak sebanyak 10 tael. Tiba-tiba terdengar sebuah suara, "Aku tinggalkan uang itu, gunakanlah dengan baik." Tak lama terdengar suara Kakek yang mengagetkan Nenek. "Ada apa Nek? Kenapa wajahmu pucat sekali?" Nenek Chen memperlihatkan uang 10 tael di telapak tangannya. Lalu menceritakan peristiwa tadi. Kakek tersenyum sabar, "Kita jadi tidak repot mencari tempat menyimpan uang, kan …"

(Dongeng dari Cina)
Sumber: Bobo, 28 Desember 2006


Ketamakan An Li
Oleh Rikianarsyi A

Di sebuah kota, hiduplah seorang saudagar kaya namun tamak yang bernama An Li. Suatu hari, saat An Li sedang berjalan-jalan, ia mendengar percakapan dua penduduk desa. "Menurut cerita, di dalam hutan itu, ada sebuah bukit sakti. Bukit itu bisa melipat-gandakan kekayaan …" An Li penasaran. Ia terus menguping sampai akhirnya ia tahu di mana letak bukit yang dibicarakan kedua orang itu. Tanpa membuang waktu, An Li segera pergi ke bukit sakti itu. Ia pergi ke hutan yang terletak di tepi kota itu. Belum lama ia masuk ke hutan itu, tiba-tiba muncullah seorang pertapa tua di hadapan An Li. "Pertapa tua, betulkah ada bukit sakti di dalam hutan ini?" tanya An Li. Pertapa itu langsung menjelaskan. "Bukit itu akan segera kau temukan begitu aku pergi. Dakilah bukit itu. Di sana terdapat empat tangkai mawar biru. Kau hanya boleh memetik satu tangkai. Jangan berbalik ke mawar yang sudah kau lewati! Ingatlah pesanku. Keserakahan akan menghancurkanmu. Menyesal tak ada gunanya," lanjutnya lalu menghilang.
Pada saat itu juga, muncul sebuah bukit hijau di hadapan An Li. Saudagar itu agak takut. Namun, ia mengikuti petunjuk pertapa tua tadi. Setelah An Li mendaki, ia menemukan setangkai mawar biru yang tumbuh di tanah. An Li segera mendekat. Saat jemari An Li menyentuh helai mahkota mawar tersebut, muncullah peri kecil. Sambil tersenyum sang Peri berkata lembut,"An Li, bila kau memetik mawar ini, maka hartamu akan berlipat lima kali. Kau akan menjadi orang terkaya di kotamu." "Ah, tanpa memetik kau pun, aku sudah menjadi orang terkaya di kotaku, " An Li pun meninggalkan mawar pertama.
Beberapa saat kemudian, An Li menemukan mawar kedua. "Mawar kedua ini akan membuatmu menjadi orang terkaya di seluruh negeri, An Li," Ucap peri penjaga mawar itu. "Huh, tanpa mawar ini pun sebentar lagi aku pasti bisa melebihi kekayaan Kaisar Chen," jawab An Li sombong lalu melanjutkan perjalanannya. Lalu sampailah An Li pada mawar ketiga. Muncul peri yang berkata, "Petiklah mawar ketiga ini, An Li. Kau akan menjadi orang terkaya di pulau." "Mawar pertama membuatku menjadi orang terkaya di kota. Mawar kedua membuatku menjadi orang terkaya di negeri. Mawar ketiga ini membuatku menjadi orang terkaya di pulau. Hahaha berarti mawar keempat akan membuatku menjadi orang terkaya di dunia!" ucap An Li penuh ketamakan.
Ia lalu bertekad menemukan mawar keempat. An Li berlari penuh semangat mencari mawar keempat. Setelah mendaki cukup lama, barulah mawar keempat terlihat. An Li segera mendekat. Dengan penuh ketamakan, tangan An Li mencabut mawar itu hingga ke akar-akarnya.
Anehnya, pada saat tangannya menggenggam mawar tersebut. Warna biru mawar itu langsung berubah menjadi hitam. Bersamaan dengan itu, muncul peri penjaga mawar keempat. Wajahnya sangat mengerikan. "Ingatlah An Li, ketamakan dan rasa tidak puas hanya akan menghancurkanmu! Dengan memetik mawar ini, terlihat betapa tamaknya engkau! Tahukah kau apa yang akan mawar ini berikan untukmu jika kau memetiknya?" tanya sang peri penuh kemarahan. "Aku akan menjadi orang terkaya di dunia kan?" tanya An Li gugup. "Tidak akan! Mawar keempat yang telanjur kau petik itu akan membuatmu menjadi orang paling miskin di dunia. Hartamu akan habis! Terimalah akibat dari ketamakanmu, An Li!" seru sang Peri. Ucapan tersebut seketika membuat An Li berada di kotanya sendiri. "Malangnya nasib Tuan An Li. Baru tadi pagi kudengar empat kapal dagangnya tenggelam. Kini rumah dan hartanya terbakar habis. Bahkan kereta kudanya juga dirampok tadi siang!" sayup-sayup An Li mendengar persakapan sekelompok penduduk kota.
"Hei, lihat! Pengemis itu mirip sekali dengan Tuan An Li!" seru seorang anak kecil kepada temannya, saat ia melihat An Li. An Li langsung melihat dirinya sendiri. Benar saja. Baju yang kini ia pakai sudah compang-camping. An Li terjatuh lemas. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya saat ini. Andai saja mawar pertama, kedua, dan ketiga membuatnya puas. Andai saja ia tidak mendengarkan percakapan tentang harta yang bisa dilipatgandakan… Andai saja ia tak tamak. Memang benar apa yang dikatakan sang Pertapa Tua. Tak ada gunanya menyesal. Semua ini terjadi karena ia tak pernah puas dan bersyukur atas apa yang ia miliki.

Sumber: Bobo, 22 Februari 2007

Dongeng, Baik bagi Kehidupan...

Santoana

Pada zaman dahulu di Pulau Jawa, hiduplah seekor burung cantik bernama Merak. Bulunya mengkilat, berwarna indah. Lehernya panjang jenjang dengan kibasan ekor bagaikan kipas. Merak yang cantik ini mendengar cerita dari teman-temannya sesama burung. "Ada seekor burung gagah bernama Santoana. Burung ini tinggal di Pulau Sumbawa. Hanya burung inilah yang pantas menjadi jodohmu. Kamu cantik dan Santoana gagah…"Hampir setiap hari Merak mendengar kata-kata ini dari teman-temanya. Akhirnya, pada suatu hari, Merak memutuskan untuk mencari Santoana. Di suatu pagi yang dingin, Merak pun pergi meninggalkan Pulau Jawa, yang ada di pikirannya hanyalah Santoana yang tampan. Perjalanan Merak memakan waktu berhari-hari. Beberapa laut dan pulau sudah dilewati. Ketika ia bertanya pada burung di setiap pulau, jawabannya selalu sama, "Terbanglah terus! Pulau itu berada agak jauh ke timur." Jawaban dari para burung itu tidak membuat Merak putus asa. Ia terus terbang, terbang… sampai akhirnya ia tiba di sebuah pulau yang sangat panjang. Bertanyalah Merak dengan napas terengah-engah.
"Pulau apakah ini?"
"Ini adalah Pulau Panjang," jawab Camar santun.
"Masih jauhkah tanah Sumbawa?" tanya Merak lagi.
"O, pulau yang terbentang di depan kita itu adalah Pulau Sumbawa.
Mendengar jawaban Camar, Merak pun sangat gembira. Setelah mengucapkan terima kasih, tanpa merasa lelah dia pun terbang lagi. Pulau Sumbawa akhirnya berhasil ia pijak. Kini ia tinggal mencari Santoana. Merak melangkah gemulai di sekitar pantai. Ekornya terkibas, leher jenjangnya melongok ke kiri dan ke kanan. Setelah agak lama mengitari pantai bertemulah dia dengan burung hitam besar yang sedang mencari makan di tepi pantai. Orang Sumbawa menyebutnya Bongarasang.
Merak mendekat dan menceritakan maksud kedatangannya ke Pulau Sumbawa. Ia juga bertanya tentang Santoana. Bongarasang sangat terpesona melihat Merak yang cantik. Timbullah akal liciknya. Bongarasang pura-pura diam dan tertunduk malu.
"Kenapa diam?" tanya Merak tak sabar.
"Aku diam dan malu karena akulah yang kau cari," kata Bongarasang berbohong. Merak lemas mendengar perkataan Bongarasang.
"Indah kabar daripada rupa," keluhnya kecewa, sebab Bongarasang tidak setampan yang ia bayangkan.
Akan tetapi, karena sudah niatnya untuk menikah dengan Santoana, akhirnya Merak menikah dengan Bongarasang yang dianggapnya Santoana.
Waktu pun berlalu. Akhirnya pasangan itu mempunyai anak. Merak dan Bongarasang berencana mengadakan pesta besar. Bongarasang juga ingin mem- perkenalkan istrinya yang cantik kepada semua undangan.
Hari pesta pun tiba. Semua undangan berdatangan. Burung tua ketua adat juga datang. Merak dan anaknya sudah berdandan di tengah ruangan. Semua tamu memuji kecantikan ibu muda yang berasal dari Pulau Jawa itu. Bongarasang tersenyum bangga. Ketika acara gunting bulu untuk keselamatan bayi burung akan dimulai, berkatalah ketua adat,
"Tunggu sebentar, Santoana belum datang."
Mendengar kata ketua adat itu, seketika wajah Merak berubah merah. Ia sangat marah kepada suaminya yang telah berbohong. Bongarasang tertunduk takut Merak menunggu dengan dada berdebar. Seperti apakah gerangan Santoana? Dari kejauhan, Santoana datang dengan gagahnya. Bulunya indah mengkilat tertimpa sinar mentari. Suaranya terdengar nyaring. Pinggulnya melenggok dengan ekor berwarna hijau tua. Berjuntai tertiup angin. Bulu-bulu halus dengan perpaduan warna yang sangat indah, membungkus badan dan lehernya.
Tiba-tiba Merak terbang meninggalkan keramaian pesta. Hatinya sakit tak terkira menyangka kalau selama ini dia sudah dibohongi. Sambil menitikkan air mata, ia melantunkan lagu sedih daerah Sumbawa.
Kulempat let biru do,
Ku buya sanak parana
Kudapat taruna kokoh
(Kulewati beberapa pulau dan samudra, untuk mendapat jodoh yang sepadan, namun bertemu dengan lelaki pembohong)
Akhirnya Merak meninggalkan Pulau Sumbawa dengan perasaan malu dan kecewa. Anaknya ikut malu dan bersembunyi di dalam tanah. Sampai sekarang anak burung itu tetap bersarang di dalam tanah. Namanya Bartong. Santoana kemudian dikenal dengan nama Ayam hutan. Menurut cerita, itulah sebabnya burung Merak tidak ada di Pulau Sumbawa sampai sekarang.

(Cerita rakyat Sumbawa - Nusa Tenggara Barat,
diceritakan kembali oleh Agung TE Syahbuddin)
Sumber: Bobo, 14 September 2006

Leo dan Simon
Oleh Hadi Pranoto

Tuan Mugabe seorang pengusaha kayu. Ia mempunyai banyak pekerja yang pandai membuat kayu-kayu gelondongan menjadi meja, kursi, dan lemari yang bagus. Ia juga mempunyai dua penebang kayu yang bertugas menebang pohon di perkebunan miliknya. Tuan Mugabe sangat memperhatikan lingkungan. Setiap satu pohon ditebang, maka ia akan menanam seratus pohon kecil di perkebunannya yang luas.
Suatu hari, dua penebang kayu yang bekerja untuknya sakit. Tuan Mugabe mencari dua penebang kayu yang baru. Cukup banyak pekerja yang melamar.
Namun, akhirnya Tuan Mugabe memilih dua pemuda, Leo dan Simon., Leo berbadan besar dan kuat. Tuan Mugabe tak ragu mempekerjakannya. Simon bertubuh sedang, namun semangatnya untuk bekerja cukup besar. Tuan Mugabe menerimanya dengan beberapa persyaratan. "Kalau hasil kerjamu kurang dari sepuluh batang pohon per hari kau akan dipecat," katanya.
"Baik Tuan," kata Simon bersemangat. Tuan Mugabe kemudian memberi keduanya kapak besar. Leo dan Simon pun mulai bekerja.
Hari pertama Leo berhasil menebang lima belas batang pohon besar. Sementara Simon hanya delapan pohon.
"Sudah kuduga. Kau pasti tidak mampu," ujar Tuan Mugabe
"Maaf tuan. Berilah hamba kesempatan seminggu lagi. Hamba akan bekerja lebih keras lagi," jawab Simon. Tuan Mugabe pun setuju.
"Leo, tidak salah aku memilihmu. Kau memang pekerja keras yang baik,"Puji Tuan Mugabe pada Leo.
"Terima kasih, Tuan. Hamba akan bekerja lebih keras lagi," jawab Leo bangga.
Karena pujian majikannya, Leo bekerja semakin bersemangat lagi. Sementara Simon masih mempersiapkan alat kerjanya, Leo telah menebang satu pohon. "Hari ini aku akan menebang pohon lebih banyak dari kemarin," kata Simon dalam hati. Maka mulailah ia bekerja dengan lebih giat.
Sore itu Simon berhasil menebang sepuluh pohon. Leo dua belas batang pohon. "Tidak apa-apa, Leo. Hasil tebanganmu masih lebih banyak. Kau tetap pekerja kesayanganku," puji Tuan Mugabe.
"Terima kasih, Tuan. Besok hamba akan bekerja dua kali lebih giat," janjinya.
"Simon, bekerjalah terus seperti hari ini. Kau tetap lulus," kata Tuan Mugabe.
"Terima kasih, Tuan. Hamba akan bekerja lebih cermat dan teliti lagi," jawabnya.
Pagi-pagi sekali Leo telah pergi ke hutan. Ia menebang pohon dengansemangat dan mengerahkan seluruh tenaganya. Sementara Simon pagi itu, mulai bekerja seperti biasa. Akan tetapi, menjelang sore hari Leo hanya berhasil mengumpulkan sembilan batang pohon. Simon malah berhasil menebang dua belas batang pohon. Tuan Mugabe menjadi heran. Ia tahu kalau Leo selalu bekerja lebih awal dan lebih giat, sedangkan Simon bekerja dengan waktu dan kecepatan biasa.
"Maafkan hamba, Tuan. Sepertinya hamba kehilangan tenaga dan kekuatan," keluh Leo sedih.
"Aneh! Kenapa sekarang justru hasil tebangan Simon lebih banyak? Padahal tubuhmu lebih besar dan kuat dibanding Simon," Tuan Mugabe heran.
Karena penasaran, Tuan Mugabe pun berusaha menyelidiki hal itu. Pagi- pagi sekali, ia sudah berada di dalam hutan mengawasi kedua pekerjanya. Yang pertama datang adalah Leo. Begitu sampai, ia langsung menebang pohon dengan gigihnya.
"Hhmmm, Leo lebih dulu mulai bekerja sebelum Simon. Tapi mengapa?” pikir Tuan Mugabe. Tak lama kemudian, datanglah Simon. Begitu sampai, ia tidak langsung bekerja. Simon mengeluarkan kapak dan mengasah kapaknya sampai tajam berkilat. Melihat hal itu Tuan Mugabe tersenyum, ia kini tahu jawabannya. Sore itu, Simon berhasil mengumpulkan dua belas batang pohon. Sementara Leo cuma delapan batang. Leo menemui majikannya dan meminta maaf dengan sedih. Tuan Mugabe tersenyum,"Kapan terakhir kali kau mengasah kapakmu?"
"Mengasah?" Hamba tidak punya waktu untuk mengasah kapak, hamba terlalu sibuk menebang pohon," jawab Leo jujur.
"Itulah sebabnya hasil kerjamu menurun. Kau bekerja dua kali lebih keras, padahal kau memakai kapak yang tumpul. Akibatnya, kau butuh waktu lebih lama untuk menebang pohon," jelas Tuan Mugabe. Leo mengangguk mengerti. Ia kini sadar kecerobohannya. Ia juga mengagumi kecermatan Simon dalam bekerja.

Sumber: Bobo, 21 Desember 2006

Si Tanduk Panjang

Konon kata yang empunya cerita, dahulu kala binatang rusa tak mempunyai tanduk. Justru anjing yang mempunyai tanduk panjang dan bercabang-cabang. Bermula dari cerita inilah kemudian rusa mempunyai tanduk panjang. Pada suatu ketika musim panas berkepanjangan tiba, hampir semua sungai kering tak berair. Semua hewan kehausan dan kelaparan karena rumput dan tanaman tidak tumbuh lagi.
Hal itu juga dialami oleh sepasang rusa yang pergi mencari air dengan menyusuri bukit dan lereng-lereng gunung. Pada akhirnya, mereka menemukan sebuah sungai yang masih ada airnya. Banyak pula hewan lain yang telah berada di situ.
"Sudah lama sekali kita mengembara, baru sekarang kita menemukan air di sini. Lihat, sudah banyak binatang lain yang berkumpul," kata Rusa Jantan kepada istrinya. Rusa Betina memalingkan wajahnya ke segala penjuru. "Memang tempat ini sudah ramai dikunjungi oleh binatang lainnya," kata Rusa Betina.
Sepasang rusa itu kemudian turun ke sungai. Tiba-tiba Rusa Betina mengamit punggung suaminya seraya berkata, "Coba lihat ke sana! Siapa gerangan yang sedang kemari. Sungguh tampan ia, tanduknya sangat indah dan menarik. Wah, sungguh gagah sekali tampaknya."
Si Rusa Jantan menoleh, memerhatikan pendatang baru yang sedang menuruni bukit menuju sungai. "Yang ke sini itu adalah Anjing. Dia sahabatku, namun sudah lama kamitak jumpa," karta Rusa Jantan.
"Hai, Rusa! Mengapa engkau juga berada di sini?" tegur si Anjing kepada sahabatnya.
"Ya, tak usah heran. Bukankah sekarang ini air sangat sulit diperoleh, makanan pun tak ada. Airlah yang membuat kita begini, pergi berkeliaran hingga ketemu di tempat ini," kata Rusa Jantan.
Kemudian mereka turun ke sungai untuk minum melepas dahaga. Setelah minum, mereka berpencar kembali.
"Mana Anjing itu tadi?" tanya Rusa Betina kepada suaminya.
"Oh itu di sana! Di bawah pohon sedang beristirahat, mungkin ia masih kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh." Sahut Rusa Jantan. "Kalau begitu, marilah? Kita juga beristirahat di sana bersama dengan dia," ajak si Rusa Betina.
"Ah, kamu ini. Selalu saja ketampanan si Anjing yang jadi buah mulutmu," sahut si Rusa Jantan. Tapi akhirnya mereka pergi juga, ke tempat si Anjing yang tengah beristirahat.
Ketika mereka berteduh di bawah pohon besar yang tak jauh dengan si Anjing, Rusa Betina itu selalu memandangi si Anjing. Sang Rusa Jantan juga terus menerus memerhatikan tingkah laku istrinya.
"Hei!" tegur si Rusa Jantan.
"Kenapa kau selalu memandangi si Anjing? Sedang aku tak kau perhatikan?" tanya Rusa Jantan dengan jengkel
"Tentu saja. Aku sangat mengagumi tanduk Anjing itu, sungguh tak terkatakan indahnya. Oh,……sungguh bagus sekali," jawab Rusa Betina segan memuji-muji tanduk di Anjing.
"Apakah ia lebih gagah dariku?" tanya si Rusa Jantan pada istrinya.
"Yah tentu saja tidak. Tetapi yang jelas tanduknya sangat bagus. Sekiranya engkau bertanduk seperti dia, pasti kau akan jauh lebih gagah daripada si Anjing" jawab Rusa Betina.
Rusa Jantan terdiam sejenak. Ia berusaha mencari akal.
"Lebih baik begini," katanya sesaat kemudian. Kalau kau mau lihat aku bertanduk, nanti aku meminjam tanduk si Anjing. Aku akan ke sana dulu untuk menyiasatinya."
Rusa Jantan itu tampaknya termakan oleh rayuan si istrinya. Ia segera menemui si Anjing. "Hei saudara Anjing. Istriku ingin melihat kita berlomba lari," kata Rusa Jantan berbohong. Si Anjing yang tak ingin mengecewakan sahabatnya menyetujui usul itu. Mereka kemudian pergi ke tepi padang rumput untuk berlomba. "Apabila saya sudah berdiri dan mengangkat kakiku, maka mulailah kalian berdua lari" Rusa Betina memberi aba-aba.
Rusa Jantan dan Anjing itu kemudian berlomba lari, ternyata, Anjing dapat dikalahkan oleh si Rusa. Si Anjing menjadi kecewa karena kekalahannya itu. Sang Rusa Jantan pun segera menghibur sambil menyiasatinya. "Begini saudara Anjing. Engkau tadi dapat ku kalahkan karena engkau memakai tanduk sehingga larimu lambat. Nah, supaya adil bagaimana kalau aku sekarang yang memakai tanduk itu. Kemudian kita berlomba lagi."
Sang Anjing segera menyetujui lagi usul sahabatnya tanpa curiga. Ia segera melepas tanduknya dan memberikannya kepada si Rusa Jantan. Kemudian Rusa Jantan memakai tanduk si Anjing yang besar dan bercabang-cabang indah itu. Segera mereka berlomba lagi. Ketika Rusa Jantan melihat si anjing berlari sekencang-kencangnya di depan, ia pun berlari terus membelok ke arah lain menjauhi si Anjing. Sementara itu, si Anjing terus berlari dan berlari. Karena merasa akan menang, ia menoleh ke belakang. Alangkah terkejutnya ketika dilihat si Rusa tidak ada di belakangnya. Sadar merasa ditipu, si Anjing berlari kembali memburu si Rusa dengan marah. Akan tetapi, karena si Rusa lebih gesit dan lincah, si Anjing tak mampu menyusulnya. Akhirnya, tanduk si Anjing dibawa lari oleh si Rusa.
Itulah sebabnya hingga kini, bila Anjing melihat Rusa pasti segera mengejarnya, karena ingin mengambil kembali tanduknya yang dipinjam si Rusa. Hingga saat ini, binatang Rusa Jantan memiliki tanduk yang indah dan kukuh, membuat ia tampak lebih gagah

Sumber: MB Rahimsyah
Cerita Rakyat Nusantara
Penerbit: Terbit Terang Surabaya.