Minggu, 15 November 2009

Dongeng, Baik bagi Kehidupan...

Santoana

Pada zaman dahulu di Pulau Jawa, hiduplah seekor burung cantik bernama Merak. Bulunya mengkilat, berwarna indah. Lehernya panjang jenjang dengan kibasan ekor bagaikan kipas. Merak yang cantik ini mendengar cerita dari teman-temannya sesama burung. "Ada seekor burung gagah bernama Santoana. Burung ini tinggal di Pulau Sumbawa. Hanya burung inilah yang pantas menjadi jodohmu. Kamu cantik dan Santoana gagah…"Hampir setiap hari Merak mendengar kata-kata ini dari teman-temanya. Akhirnya, pada suatu hari, Merak memutuskan untuk mencari Santoana. Di suatu pagi yang dingin, Merak pun pergi meninggalkan Pulau Jawa, yang ada di pikirannya hanyalah Santoana yang tampan. Perjalanan Merak memakan waktu berhari-hari. Beberapa laut dan pulau sudah dilewati. Ketika ia bertanya pada burung di setiap pulau, jawabannya selalu sama, "Terbanglah terus! Pulau itu berada agak jauh ke timur." Jawaban dari para burung itu tidak membuat Merak putus asa. Ia terus terbang, terbang… sampai akhirnya ia tiba di sebuah pulau yang sangat panjang. Bertanyalah Merak dengan napas terengah-engah.
"Pulau apakah ini?"
"Ini adalah Pulau Panjang," jawab Camar santun.
"Masih jauhkah tanah Sumbawa?" tanya Merak lagi.
"O, pulau yang terbentang di depan kita itu adalah Pulau Sumbawa.
Mendengar jawaban Camar, Merak pun sangat gembira. Setelah mengucapkan terima kasih, tanpa merasa lelah dia pun terbang lagi. Pulau Sumbawa akhirnya berhasil ia pijak. Kini ia tinggal mencari Santoana. Merak melangkah gemulai di sekitar pantai. Ekornya terkibas, leher jenjangnya melongok ke kiri dan ke kanan. Setelah agak lama mengitari pantai bertemulah dia dengan burung hitam besar yang sedang mencari makan di tepi pantai. Orang Sumbawa menyebutnya Bongarasang.
Merak mendekat dan menceritakan maksud kedatangannya ke Pulau Sumbawa. Ia juga bertanya tentang Santoana. Bongarasang sangat terpesona melihat Merak yang cantik. Timbullah akal liciknya. Bongarasang pura-pura diam dan tertunduk malu.
"Kenapa diam?" tanya Merak tak sabar.
"Aku diam dan malu karena akulah yang kau cari," kata Bongarasang berbohong. Merak lemas mendengar perkataan Bongarasang.
"Indah kabar daripada rupa," keluhnya kecewa, sebab Bongarasang tidak setampan yang ia bayangkan.
Akan tetapi, karena sudah niatnya untuk menikah dengan Santoana, akhirnya Merak menikah dengan Bongarasang yang dianggapnya Santoana.
Waktu pun berlalu. Akhirnya pasangan itu mempunyai anak. Merak dan Bongarasang berencana mengadakan pesta besar. Bongarasang juga ingin mem- perkenalkan istrinya yang cantik kepada semua undangan.
Hari pesta pun tiba. Semua undangan berdatangan. Burung tua ketua adat juga datang. Merak dan anaknya sudah berdandan di tengah ruangan. Semua tamu memuji kecantikan ibu muda yang berasal dari Pulau Jawa itu. Bongarasang tersenyum bangga. Ketika acara gunting bulu untuk keselamatan bayi burung akan dimulai, berkatalah ketua adat,
"Tunggu sebentar, Santoana belum datang."
Mendengar kata ketua adat itu, seketika wajah Merak berubah merah. Ia sangat marah kepada suaminya yang telah berbohong. Bongarasang tertunduk takut Merak menunggu dengan dada berdebar. Seperti apakah gerangan Santoana? Dari kejauhan, Santoana datang dengan gagahnya. Bulunya indah mengkilat tertimpa sinar mentari. Suaranya terdengar nyaring. Pinggulnya melenggok dengan ekor berwarna hijau tua. Berjuntai tertiup angin. Bulu-bulu halus dengan perpaduan warna yang sangat indah, membungkus badan dan lehernya.
Tiba-tiba Merak terbang meninggalkan keramaian pesta. Hatinya sakit tak terkira menyangka kalau selama ini dia sudah dibohongi. Sambil menitikkan air mata, ia melantunkan lagu sedih daerah Sumbawa.
Kulempat let biru do,
Ku buya sanak parana
Kudapat taruna kokoh
(Kulewati beberapa pulau dan samudra, untuk mendapat jodoh yang sepadan, namun bertemu dengan lelaki pembohong)
Akhirnya Merak meninggalkan Pulau Sumbawa dengan perasaan malu dan kecewa. Anaknya ikut malu dan bersembunyi di dalam tanah. Sampai sekarang anak burung itu tetap bersarang di dalam tanah. Namanya Bartong. Santoana kemudian dikenal dengan nama Ayam hutan. Menurut cerita, itulah sebabnya burung Merak tidak ada di Pulau Sumbawa sampai sekarang.

(Cerita rakyat Sumbawa - Nusa Tenggara Barat,
diceritakan kembali oleh Agung TE Syahbuddin)
Sumber: Bobo, 14 September 2006

Leo dan Simon
Oleh Hadi Pranoto

Tuan Mugabe seorang pengusaha kayu. Ia mempunyai banyak pekerja yang pandai membuat kayu-kayu gelondongan menjadi meja, kursi, dan lemari yang bagus. Ia juga mempunyai dua penebang kayu yang bertugas menebang pohon di perkebunan miliknya. Tuan Mugabe sangat memperhatikan lingkungan. Setiap satu pohon ditebang, maka ia akan menanam seratus pohon kecil di perkebunannya yang luas.
Suatu hari, dua penebang kayu yang bekerja untuknya sakit. Tuan Mugabe mencari dua penebang kayu yang baru. Cukup banyak pekerja yang melamar.
Namun, akhirnya Tuan Mugabe memilih dua pemuda, Leo dan Simon., Leo berbadan besar dan kuat. Tuan Mugabe tak ragu mempekerjakannya. Simon bertubuh sedang, namun semangatnya untuk bekerja cukup besar. Tuan Mugabe menerimanya dengan beberapa persyaratan. "Kalau hasil kerjamu kurang dari sepuluh batang pohon per hari kau akan dipecat," katanya.
"Baik Tuan," kata Simon bersemangat. Tuan Mugabe kemudian memberi keduanya kapak besar. Leo dan Simon pun mulai bekerja.
Hari pertama Leo berhasil menebang lima belas batang pohon besar. Sementara Simon hanya delapan pohon.
"Sudah kuduga. Kau pasti tidak mampu," ujar Tuan Mugabe
"Maaf tuan. Berilah hamba kesempatan seminggu lagi. Hamba akan bekerja lebih keras lagi," jawab Simon. Tuan Mugabe pun setuju.
"Leo, tidak salah aku memilihmu. Kau memang pekerja keras yang baik,"Puji Tuan Mugabe pada Leo.
"Terima kasih, Tuan. Hamba akan bekerja lebih keras lagi," jawab Leo bangga.
Karena pujian majikannya, Leo bekerja semakin bersemangat lagi. Sementara Simon masih mempersiapkan alat kerjanya, Leo telah menebang satu pohon. "Hari ini aku akan menebang pohon lebih banyak dari kemarin," kata Simon dalam hati. Maka mulailah ia bekerja dengan lebih giat.
Sore itu Simon berhasil menebang sepuluh pohon. Leo dua belas batang pohon. "Tidak apa-apa, Leo. Hasil tebanganmu masih lebih banyak. Kau tetap pekerja kesayanganku," puji Tuan Mugabe.
"Terima kasih, Tuan. Besok hamba akan bekerja dua kali lebih giat," janjinya.
"Simon, bekerjalah terus seperti hari ini. Kau tetap lulus," kata Tuan Mugabe.
"Terima kasih, Tuan. Hamba akan bekerja lebih cermat dan teliti lagi," jawabnya.
Pagi-pagi sekali Leo telah pergi ke hutan. Ia menebang pohon dengansemangat dan mengerahkan seluruh tenaganya. Sementara Simon pagi itu, mulai bekerja seperti biasa. Akan tetapi, menjelang sore hari Leo hanya berhasil mengumpulkan sembilan batang pohon. Simon malah berhasil menebang dua belas batang pohon. Tuan Mugabe menjadi heran. Ia tahu kalau Leo selalu bekerja lebih awal dan lebih giat, sedangkan Simon bekerja dengan waktu dan kecepatan biasa.
"Maafkan hamba, Tuan. Sepertinya hamba kehilangan tenaga dan kekuatan," keluh Leo sedih.
"Aneh! Kenapa sekarang justru hasil tebangan Simon lebih banyak? Padahal tubuhmu lebih besar dan kuat dibanding Simon," Tuan Mugabe heran.
Karena penasaran, Tuan Mugabe pun berusaha menyelidiki hal itu. Pagi- pagi sekali, ia sudah berada di dalam hutan mengawasi kedua pekerjanya. Yang pertama datang adalah Leo. Begitu sampai, ia langsung menebang pohon dengan gigihnya.
"Hhmmm, Leo lebih dulu mulai bekerja sebelum Simon. Tapi mengapa?” pikir Tuan Mugabe. Tak lama kemudian, datanglah Simon. Begitu sampai, ia tidak langsung bekerja. Simon mengeluarkan kapak dan mengasah kapaknya sampai tajam berkilat. Melihat hal itu Tuan Mugabe tersenyum, ia kini tahu jawabannya. Sore itu, Simon berhasil mengumpulkan dua belas batang pohon. Sementara Leo cuma delapan batang. Leo menemui majikannya dan meminta maaf dengan sedih. Tuan Mugabe tersenyum,"Kapan terakhir kali kau mengasah kapakmu?"
"Mengasah?" Hamba tidak punya waktu untuk mengasah kapak, hamba terlalu sibuk menebang pohon," jawab Leo jujur.
"Itulah sebabnya hasil kerjamu menurun. Kau bekerja dua kali lebih keras, padahal kau memakai kapak yang tumpul. Akibatnya, kau butuh waktu lebih lama untuk menebang pohon," jelas Tuan Mugabe. Leo mengangguk mengerti. Ia kini sadar kecerobohannya. Ia juga mengagumi kecermatan Simon dalam bekerja.

Sumber: Bobo, 21 Desember 2006

Si Tanduk Panjang

Konon kata yang empunya cerita, dahulu kala binatang rusa tak mempunyai tanduk. Justru anjing yang mempunyai tanduk panjang dan bercabang-cabang. Bermula dari cerita inilah kemudian rusa mempunyai tanduk panjang. Pada suatu ketika musim panas berkepanjangan tiba, hampir semua sungai kering tak berair. Semua hewan kehausan dan kelaparan karena rumput dan tanaman tidak tumbuh lagi.
Hal itu juga dialami oleh sepasang rusa yang pergi mencari air dengan menyusuri bukit dan lereng-lereng gunung. Pada akhirnya, mereka menemukan sebuah sungai yang masih ada airnya. Banyak pula hewan lain yang telah berada di situ.
"Sudah lama sekali kita mengembara, baru sekarang kita menemukan air di sini. Lihat, sudah banyak binatang lain yang berkumpul," kata Rusa Jantan kepada istrinya. Rusa Betina memalingkan wajahnya ke segala penjuru. "Memang tempat ini sudah ramai dikunjungi oleh binatang lainnya," kata Rusa Betina.
Sepasang rusa itu kemudian turun ke sungai. Tiba-tiba Rusa Betina mengamit punggung suaminya seraya berkata, "Coba lihat ke sana! Siapa gerangan yang sedang kemari. Sungguh tampan ia, tanduknya sangat indah dan menarik. Wah, sungguh gagah sekali tampaknya."
Si Rusa Jantan menoleh, memerhatikan pendatang baru yang sedang menuruni bukit menuju sungai. "Yang ke sini itu adalah Anjing. Dia sahabatku, namun sudah lama kamitak jumpa," karta Rusa Jantan.
"Hai, Rusa! Mengapa engkau juga berada di sini?" tegur si Anjing kepada sahabatnya.
"Ya, tak usah heran. Bukankah sekarang ini air sangat sulit diperoleh, makanan pun tak ada. Airlah yang membuat kita begini, pergi berkeliaran hingga ketemu di tempat ini," kata Rusa Jantan.
Kemudian mereka turun ke sungai untuk minum melepas dahaga. Setelah minum, mereka berpencar kembali.
"Mana Anjing itu tadi?" tanya Rusa Betina kepada suaminya.
"Oh itu di sana! Di bawah pohon sedang beristirahat, mungkin ia masih kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh." Sahut Rusa Jantan. "Kalau begitu, marilah? Kita juga beristirahat di sana bersama dengan dia," ajak si Rusa Betina.
"Ah, kamu ini. Selalu saja ketampanan si Anjing yang jadi buah mulutmu," sahut si Rusa Jantan. Tapi akhirnya mereka pergi juga, ke tempat si Anjing yang tengah beristirahat.
Ketika mereka berteduh di bawah pohon besar yang tak jauh dengan si Anjing, Rusa Betina itu selalu memandangi si Anjing. Sang Rusa Jantan juga terus menerus memerhatikan tingkah laku istrinya.
"Hei!" tegur si Rusa Jantan.
"Kenapa kau selalu memandangi si Anjing? Sedang aku tak kau perhatikan?" tanya Rusa Jantan dengan jengkel
"Tentu saja. Aku sangat mengagumi tanduk Anjing itu, sungguh tak terkatakan indahnya. Oh,……sungguh bagus sekali," jawab Rusa Betina segan memuji-muji tanduk di Anjing.
"Apakah ia lebih gagah dariku?" tanya si Rusa Jantan pada istrinya.
"Yah tentu saja tidak. Tetapi yang jelas tanduknya sangat bagus. Sekiranya engkau bertanduk seperti dia, pasti kau akan jauh lebih gagah daripada si Anjing" jawab Rusa Betina.
Rusa Jantan terdiam sejenak. Ia berusaha mencari akal.
"Lebih baik begini," katanya sesaat kemudian. Kalau kau mau lihat aku bertanduk, nanti aku meminjam tanduk si Anjing. Aku akan ke sana dulu untuk menyiasatinya."
Rusa Jantan itu tampaknya termakan oleh rayuan si istrinya. Ia segera menemui si Anjing. "Hei saudara Anjing. Istriku ingin melihat kita berlomba lari," kata Rusa Jantan berbohong. Si Anjing yang tak ingin mengecewakan sahabatnya menyetujui usul itu. Mereka kemudian pergi ke tepi padang rumput untuk berlomba. "Apabila saya sudah berdiri dan mengangkat kakiku, maka mulailah kalian berdua lari" Rusa Betina memberi aba-aba.
Rusa Jantan dan Anjing itu kemudian berlomba lari, ternyata, Anjing dapat dikalahkan oleh si Rusa. Si Anjing menjadi kecewa karena kekalahannya itu. Sang Rusa Jantan pun segera menghibur sambil menyiasatinya. "Begini saudara Anjing. Engkau tadi dapat ku kalahkan karena engkau memakai tanduk sehingga larimu lambat. Nah, supaya adil bagaimana kalau aku sekarang yang memakai tanduk itu. Kemudian kita berlomba lagi."
Sang Anjing segera menyetujui lagi usul sahabatnya tanpa curiga. Ia segera melepas tanduknya dan memberikannya kepada si Rusa Jantan. Kemudian Rusa Jantan memakai tanduk si Anjing yang besar dan bercabang-cabang indah itu. Segera mereka berlomba lagi. Ketika Rusa Jantan melihat si anjing berlari sekencang-kencangnya di depan, ia pun berlari terus membelok ke arah lain menjauhi si Anjing. Sementara itu, si Anjing terus berlari dan berlari. Karena merasa akan menang, ia menoleh ke belakang. Alangkah terkejutnya ketika dilihat si Rusa tidak ada di belakangnya. Sadar merasa ditipu, si Anjing berlari kembali memburu si Rusa dengan marah. Akan tetapi, karena si Rusa lebih gesit dan lincah, si Anjing tak mampu menyusulnya. Akhirnya, tanduk si Anjing dibawa lari oleh si Rusa.
Itulah sebabnya hingga kini, bila Anjing melihat Rusa pasti segera mengejarnya, karena ingin mengambil kembali tanduknya yang dipinjam si Rusa. Hingga saat ini, binatang Rusa Jantan memiliki tanduk yang indah dan kukuh, membuat ia tampak lebih gagah

Sumber: MB Rahimsyah
Cerita Rakyat Nusantara
Penerbit: Terbit Terang Surabaya.

1 komentar: